Selasa, 17 November 2015

Perempuan

Penggunaan kata “perempuan” dan “wanita” rupanya bisa menjadi masalah di negara ini, dan setiap rezim kemudian menggunakannya untuk kepentingan masing-masing. Di zaman Orde Baru, lema “wanita” lebih sering dan banyak digunakan ketimbang “perempuan” sehingga hampir semua organisasi pemerintah kemudian menggunakan lema itu.

Misalnya ada BKOW kependekan dari Badan Kerjasama Organisasi Wanita, Perwanida singkatan dari Persatuan Wanita Depatermen Agama, atau Dharma Wanita untuk menyebut organisasi istri PNS. Dan sejak 1978, dibuatlah pula departemen atau kementerian yang menggunakan istilah “wanita”: Departemen Negara Peranan Wanita. Menterinya, awalnya disebut menteri muda urusan peranan wanita, lalu berubah menjadi menteri negara urusan peranan wanita, dan terakhir, menjadi menteri negara urusan peningkatan peranan wanita.

Ketika rezim Orde Baru tumbang, istilah yang melekat di kementerian itu diubah. Rezim reformasi menghilangan kata “wanita” dan menggantinya dengan kata “perempuan”. Jadilah menteri negara urusan peningkatan peranan wanita berubah nama menjadi menteri negara pemberdayaan peranan perempuan, diubah lagi menjadi menteri negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan terakhir yang digunakan sampai sekarang adalah menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Pergantian istilah dari “wanita” ke “perempuan” itu, konon dimaksudkan sebagai penghormatan. Kata “wanita” yang berasal dari bahasa Jawa “wanita” [baca: wanito] dianggap sebagai istilah yang melecehkan perempuan, sebab arti dari kata itu [konon pula] adalah wani ditata [harus ditata]. Wanita dengan demikian harus ditata, diatur. Dan Orde Baru memilih menggunakan istilah “wanita” karena rezim itu dituding suka menata atau mengatur-atur, termasuk untuk urusan kaum Hawa.

Ada pun kata “perempuan” dianggap sebagai istilah yang lebih terhormat. Berasal dari kata “puan” atau “empuan”, makna awal “perempuan” adalah yang terhormat karena ia adalah istilah untuk menyebut istri datuk atau raja [Melayu]. Istilah itu juga dianggap berhubungan dengan keistimewaan yang tidak dimiliki kaum Adam yaitu rahim, tempat tumbuh dan berkembangnya janin.

Pertanyaannya: benarkah “perempuan” dan “wanita” berlainan artinya, dan salah satu dari istilah itu cenderung bermakna melecehkan sementara kata yang lainnya lebih menghormati?

Di KBBI disebutkan, “perempuan” adalah orang [manusia] yang mempunyai puki, mendapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, atau menyusui. Dari batasan itu, KBBI memaknai “perempuan” hanya sebagai genitalia dan seolah, sekadar pabrik atau alat reproduksi. Anggapan ini bisa menguat, karena arti “perempuan” selanjutnya oleh KBBI disebut sebagai betina [istilah untuk menyebut hewan yang bisa mengandung]. Problemnya: KBBI juga mengartikan “perempuan” sebagai wanita, sementara di kamus yang sama, istilah “wanita” juga punya makna tersendiri, yaitu perempuan dewasa, atau kaum putri [dewasa].

Dari penjelasan yang diberikan oleh KBBI itu, maka “perempuan” dan “wanita” sebetulnya tidak ada bedanya. Antara istilah yang satu dengan yang lain, tidak ada nilai lebih atu kurang. Dua istilah itu hanya sebutan untuk membedakan dari kata “laki-laki” atau “pria.” Benar kemudian ada istilah “WTS”, wanita tuna susila itu untuk menyebut pelacur, tapi tidakkah belakangan muncul pula istilah “perek” atau perempuan eksperimen yang artinya kurang-lebih sama dengan pelacur?

Istilah yang justru rancu adalah sebutan Kowad [Komando Wanita Angkatan Darat], Kowal, Wara [Wanita Angkata Udara], dan Polwan [Polisi Wanita], yang sudah ada sejak zaman Orde Lama. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk membedakan dengan tentara atau polisi laki-laki atau pria. Masalahnya, kalau untuk tentara wanita atau perempuan ada istilah khusus, mengapa untuk tentara dan polisi pria atau laki-laki tidak ada sebutan yang khusus?

Misalnya Komando Pria Angkatan Laut [bisa disingkat Kopal] untuk menyebut pria yang berdinas di TNI Angkatan Laut, Lara untuk laki-laki Angkatan Udara, Kopad untuk Pria Angkatan Darat, atau Polki untuk Polisi Laki-Laki. Atau tentara dan polisi hanya monopoli laki-laki sehingga istilah khusus hanya berlaku bagi perempuan atau wanita?

Mengapa pula untuk perempuan atau wanita diperlukan kementerian khusus, sementara tidak ada kementerian yang mengurus pemberdayaan laki-laki atau pria? Atau laki-laki sudah dianggap bisa mengurus diri mereka sendiri dan juga perempuan, ketimbang perempuan atau wanita?

‪#‎selasabahasa‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar