Rabu, 18 November 2015

Tetangga

Bertetangga berarti meniti hubungan yang tegang. Di satu sisi menjadi tiang penyelamat, di sisi yang lain bisa jadi sumber khianat. Tetangga beli mobil bisa bikin jantungan, tapi begitu kena serangan jantung beneran, tetanggalah yang menolong membawa ke rumah sakit. Pakai mobilnya lagi...

Dalam dunia politik, tetangga menjadi persoalan yang tak kalah pentingnya. Kalau dalam strategi kawasan, mestinya tetangga menjadi nomor dua setelah keluarga. Tapi prakteknya tak selalu demikian. Terutama di Indonesia.

Malaysia adalah tetangga kita. Tapi konfrontasi kita dengan Malaysia pernah begitu keras, sebab waktu itu Malaysia pernah dianggap sebagai agen Nekolim. Sampai sekarang, Malaysia sering dianggap sebagai salah satu sumber persoalan dengan negara kita. Mulai dari perlakuan terhadap TKI, pematokan kawasan, sampai soal pendakuan beberapa produk budaya kita. Tetangga adalah ruwet.

Tapi hanya sedikit politikus di Indonesia yang berpikir bahwa mestinya tetangga harus dirangkul. Secara teritori, tetangga sangat dekat. Secara kultural juga nyaris tanpa sekat.

Kapasitas bertetangga kita masih sekelas kesebelasan sepakbola yang menghasilkan istilah 'derby', baik 'derby della capitale' maupaun 'derby della madonnina'. Atau setidaknya bagi Anda yang suka klub Inggris, pasti kenal dengan frasa yang diperkenalkan oleh Opa Fergie: 'tetangga yang berisik', untuk menyebut kesebelasan Manchester City.

Kita masih suka pada poros-poros yang jauh: Tiongkok, Rusia, Timur Tengah (saya lebih suka menyebutnya sebagai 'Barat Laut' sebab sebutan Timur Tengah hanya cocok untuk Eropa ketika menunjukkan arah jarinya ke kawasan tersebut), dan Amerika.

Seorang kawan saya, traveler nekat, suatu saat dengan kesabarannya yang ekstra, mendapatkan tiket seharga 99 ribu rupiah untuk bisa terbang ke Kuala Lumpur. Itu untuk pertama kalinya dia naik pesawat terbang sekaligus pertama kalinya pergi ke luar negeri. Dia berangkat dengan uang yang paspasan. Di negeri Jiran itu, akhirnya dia bisa terus bertahan agak lama dan makan enak hanya karena satu hal: bisa berbahasa Madura.

Selamat hari tetangga nasional...

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar