Kamis, 12 November 2015

Wawancara

Tahun 2008, untuk keperluan penulisan, saya butuh melakukan wawancara dengan seorang kolektor lukisan di Jakarta. Saya mengirim email dan pesan pendek untuk meminta waktu melakukan wawancara. Tapi tidak ada balasan. Baru tiga hari kemudian dijawab kalau sangat sibuk, dan meminta diwawancara lewat email atau telepon. Saya membalas, kalau bisa tetap diperkenankan wawancara sekalipun hanya 15 menit. Dua hari kemudian dijawab lagi dengan jawaban yang sama. Saya membalas hal yang sama pula. Akhirnya dia memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan alokasi waktu 30 menit.

Seperti biasa, saya datang terlebih dahulu. Sebelum wawancara, saya memastikan lagi waktu yang diberikan. Untuk menjaga saya tidak mengganggu aktivitas dia selanjutnya. Wawancara berjalan lancar. Lima menit sebelum jatah saya habis, saya mulai bersiap mengakhiri wawancara. Mendadak dia member waktu lebih panjang. Satu jam. Akhirnya kami ngobrol lebih intens. Ketika waktu hampir habis, kembali saya berkemas. Lagi-lagi, dia memberi waktu lebih panjang satu jam. Tentu saya lebih senang. Dan ketika wawancara hampir berakhir, dia memberi waktu lebih lanjang lagi yakni dengan menraktir saya makan bebek bengil. Itu kali pertama saya makan menu tersebut.

Dua tahun sebelumnya, untuk keperluan penelitian, saya datang ke Meulaboh untuk melakukan wawancara dengan seorang perempuan eks-kombatan. Waktu tempuh dari Meulaboh ke kampung perempuan tersebut kurang-lebih 3 jam. Hari pertama, dia tidak mau menemui saya. Hari kedua, dia mau menemui saya tapi tidak mau bicara. Saya hanya punya waktu sehari lagi. Karena saya harus meneruskan penelitian ke Banda Aceh. Di hari ketiga, saya datan lagi. Sampai pukul 3 sore, perempuan tersebut tetap tidak mau bicara. Dan saya harus meninggalkan kampung itu sebelum sore. Sesaat sebelum saya berkemas dengan rasa kecewa, tiba-tiba dia mau bicara. Lepas.

Dan saya lega.

#‎rahimsunyi‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar