Jumat, 31 Oktober 2014

Hentikan Blusukan!

Hentikan blusukan! Penderitaan bangsa ini terlalu nyata! Kedekatan bukan dengan kedatangan, tetapi keberpihakan. [Ahmad Sahidah]

Kamis, 23 Oktober 2014

Dari The Ohio Mafia Hingga Puisi Esai

"The Ohio Mafia". Frasa itu ditadaruskan oleh Rizal Mallarangeng dalam kata pengantar terjemahan disertasinya, "Mendobrak Sentralisme Ekonomi" (judul asli: "Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and Economic Policy Change, 1986-1992"), yang terbit pada 2002 silam. Istilah itu digunakan untuk menyebut dia dan kawan-kawannya yang pernah belajar di Ohio State University (OSU) dan menjadi murid William Liddle. Kalimat lengkap Rizal itu berbunyi: "Saya harap sahabat-sahabat kental ini menyadari bahwa dalam beberapa tahun mendatang akan ada satu atau dua orang di Indonesia yang menyebut mereka, termasuk juga saya, sebagai 'the Liddle Mafia', atau paling tidak 'the Ohio Mafia'."

KPK dan Kabinet

Jika begitu caranya, KPK akan potensial jadi alat politik. KPK (semestinya) terlalu mulia untuk sekadar jadi alat politisi, bahkan jika itu presiden. Prosedur hukum punya kaidah sendiri, yg berbeda dari politik. Jika KPK punya indikasi/bukti seseorang terlibat korupsi, lebih baik keep it secret dan ditindaklanjuti saja; tak peduli jalannya politik atau pemberitaan media. KPK yg bermartabat. (Farid Gaban)

Rabu, 22 Oktober 2014

Pilihan Rakyat

Jokowi-JK adalah pilihan rakyat. Para anggota DPR juga adalah pilihan rakyat.

Sabtu, 27 September 2014

Takfiri Demokrasi

Tak ada yang lebih menggelikan daripada pemaksaan pendapat atas nama demokrasi, termasuk mencap siapapun yang tak sepemahaman sebagai pengkhianat dan penjahat. Rupanya kini bukan hanya para politisi saja yang mudah mengklaim dirinya sebagai representasi rakyat; mereka yang tak berpartai, tak pernah ikut pemilu, dan tak pernah dipasrahi mandat dari "rakyat" yang diklaimnya itupun juga sering menganggap dirinya sebagai "wakil rakyat", yang bahkan mewakili seluruh rakyat secara bulat.

Kamis, 25 September 2014

Pendidikan Kita

Catatan ini masih menjadi bagian dari argumen penolakan saya atas rencana pemerintahan baru untuk memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian. Dalam sebuah karangannya, "Memajukan Pendidikan Tinggi" (1998), Profesor Teuku Jacob (1929-2007) memberikan catatan penting terhadap soal pengajaran di perguruan tinggi. Menurutnya, kegiatan mengajar seolah menempati kasta paling rendah jika dibandingkan dengan Tridarma perguruan tinggi lainnya. Penelitian, misalnya, memiliki gengsi yang tinggi dan menentukan status akademis seorang dosen. Konsekuensi imbalannya juga besar, terutama yang berasal dari penelitian-penelitian pesanan. Kegiatan pengabdian juga kurang lebih serupa.

Rabu, 24 September 2014

Dicari: Menteri Pendidikan yang Punya Konsep

Dalam sejarah kita, hanya sedikit menteri pendidikan yang bisa disebut memiliki konsep yang jelas dan matang mengenai pendidikan dan kebudayaan. Tentu saja, Ki Hadjar, menteri pendidikan kita yang pertama, adalah salah satunya. Di luar Ki Hadjar, saya mencatat bahwa Sarino Mangunpranoto dan Daoed Joesoef, adalah dua dari sedikit menteri pendidikan setelahnya yang juga punya konsep yang jelas dan matang.

Soal Riset dan Perguruan Tinggi Kita: Sebuah Catatan dari Bulaksumur

Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)

Rencana pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, terus terang cukup merisaukan, karena kita tidak pernah disodori dan mengetahui konsepnya. Berbeda dengan bidang lain, pendidikan seharusnya tidak tunduk kepada logika siklus kekuasaan, dimana setiap pemerintahan baru hasil Pemilu bisa begitu saja mengubah dan mengotak-atik sistem pendidikan sekehendaknya.