Sabtu, 31 Oktober 2015

Dayak

Usat terus meraung dan memegangi hidungnya. Darah segar yang bergumpal-gumpal, deras mengucur seolah air yang dipompa dari puncaknya yang paling dalam. Di depannya berdiri Bantin dengan pongah. Dia anak kandung Usat.

Dari mulut pemuda berusia 30 tahunan itu tak hanya menebar bau arak tapi juga sejumlah kata makian dalam bahasa Iban. Usat, tak berdaya. Dia digotong sejumlah orang yang segera melarikannya dengan sepeda motor ke rumah mantri kesehatan di pusat desa Sungai Tembaga, Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. “Kalau tidak membaik, Pak Mantri bilang hidung Usat bisa dipotong,” kata Sembam, Kepala Dusun Sebindang, Sungai Tembaga. Usat dan Bantin, penduduk Sebindang.

Sembam itulah yang menceritakan nahas yang menimpa Usat kepada saya, beberapa jam setelah pemukulan. Kejadiannya tengah malam, Jumat, 14 Mei 2010, ketika saya saya mendatangi Kapuas Hulu di Kalimantan Barat untuk meliput ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana. Saya merangsek hingga Putusibau, Danau Sentarum, Lanjang, Sebindang, Empanang, dan Badau yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia.


Kata Sembam, dia bersama sejumlah penduduk Sebindang termasuk Usat dan Bantin, malam itu berkumpul di rumah Unja. Nama yang disebut terakhir adalah mantan kepala dusun, pendahulu Sembam. Dia dikenal sebagai orang yang berdiri paling depan mendukung kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Tembaga. Topik pembicaraan mereka malam itu adalah kehadiran perkebunan sawit yang belakangan memang mulai mengepung dusun dan desa mereka.

Sebindang adalah salah satu dusun dari tiga dusun di Desa Sungai Tembaga. Sebagian besar penduduknya menolak keras kehadiran perkebunan kelapa sawit. Dua dusun lainnya adalah Batu Pansap dan Semayos. Menurut Sembam, jika setiap dusun memiliki luas lahan sekitar 3 ribu hektar, akan ada 9 ribu hektar lahan yang hingga sekarang belum berubah peruntukan menjadi kebun sawit di Sungai Tembaga. “Kami terkepung di tengah lautan perkebunan sawit, “ kata A. Unggum, Patih Desa Bajau Andai. Desa Bajau adalah tetangga Desa Sungai Tembaga.

Sembam bercerita, malam itu, Unja sengaja mengundang penduduk Sebindang ke rumahnya untuk membicarakan kehadiran perkebunan sawit di dusun mereka. Arak dihidangkan, dan satu per satu, orang-orang yang berkumpul menenggak arak hingga pembicaraan pun semakin memanas. Sebagian setuju dengan kehadiran sawit, sebagian yang lain menolak.

Seperti halnya Unja, Bantin termasuk orang yang sepakat dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit di desanya. Sebaliknya Usat dan Sembam menolak. Menjelang tengah malam, pembicaraan antarmereka sudah semakin tak terkendali. Nada suara dari sebagian peserta pertemuan mulai keras. Juga suara Bantin. Usat yang sedang angkat bicara tiba-tiba dihampiri Bantin yang tampaknya mulai mabuk. Lalu tanpa ba-bi-bu, anak lelaki berbadan tegap itu melayangkan tinju keras ke hidung bapaknya. Buk.

Kejadiannya lekas dan tak bisa dicegah oleh orang-orang yang duduk di dekat Usat. Lelaki berusia 50 tahunan itu terhuyung. Darah membasahi baju. Menggenangi cawan arak di depannya. Pertemuan bubar. Usat dilarikan ke Sungai Tembaga. Bantin pergi entah ke mana. “Daerah kami rawan. Anak bisa berantem dengan orang tuanya hanya gara-gara sawit,” kata Sembam.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Sembam kembali menemui saya yang menginap di rumah Hendrikus Derawan, tokoh masyarakat di Dusun Batu Pansap. Dia membawa berita tentang pembunuhan yang terjadi di Desa Upak. Desa itu berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah utara Desa Sungai Tembaga. Belum jelas siapa yang membunuh tapi menurut Sembam pemicunya juga soal kebun sawit. Dia menyarankan saya berhati-hati.

Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati paling produktif di atas bumi. Dari tiap hektar lahan bisa dipanen hingga 6 ton minyak per tahun atau 10-15 kali lebih banyak dari produktivitas jagung atau kedelai yang hanya mencapai 0,4 ton. Dengan harga US$ 700 per ton, hasil panen minyak sawit bernilai sekitar US$ 3.500 untuk setiap hektar selama setahun. Harga itu jauh lebih hebat dari hasil panen kebun karet produktif yang hanya sekitar Rp 25 juta atau tebu yang Rp 15 juta per hektar per tahun.

Orang-orang Dayak Iban di pelosok Kapuas Hulu yang menemui saya, pada dasarnya menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit, tapi mereka tak berdaya mempertahankan hutan adat mereka. A Sukarna, seorang eks mantri polisi bercerita, hutan-hutan itu merupakan warisan dari nenek moyang, turun-termurun dan dipelihara oleh warga. Dan karena faktor sejarah dan sebagainya, sebagian dari hutan-hutan merupakan hutan terlarang. “Empu kami dulu mati dibunuh. Dia dikubur di danau dekat hutan. Dia berjuluk Bangau. Itu burung tapi bukan burung. Untuk mengingat jasanya, hutan itu dihibahkan ke anak cucu dan hutan itu tidak boleh diganggu.

Persoalan lainnya dan mungkin menjadi persoalan utama adalah pola pembagian lahan 80: 20 yang ditawarkan perusahaan perkebunan sawit yang niscaya ditolak penduduk setempat. Pola itu dianggap merugikan penduduk dan hanya menguntungkan perusahaan perkebunan sawit. “Kalau 80-20, menurut informasi, misalnya kami punya lahan 10 hektar, yang dua hektar itu punya saya dan delapan hektar punya perusahaan,” kata Hendrikus.

Lahan yang dua hektar itu pun, tidak murni akan menghasilkan sawit seluas dua hektar karena harus dipotong biaya pemeliharaan. Antara lain ongkos pupuk, upah pekerja, ongkos angkut dan sebagainya. Dalam hitungan Hendrikus, sawit yang dihasilkan dari kebun penduduk yang dua hektar, bisa-bisa hanya tersisa sehektar. Itu pun belum termasuk jika kelak, sawit-sawit itu berbuah: sawit yang ditanam oleh perusahaan [inti] akan diutamakan untuk dipanen sementara sawit-sawit milik penduduk dinomorduakan.

Lokasi sawit plasma milik penduduk, sebagian besar celakanya berada jauh di tengah perkebunan sawit milik perusahaan yang menghalangi kecepatan panen. Misalnya yang semula Rp 1.500 per tandan bisa menjadi Rp 800 atau Rp 500 per tandan. Padahal tandan buah segar, akan mahal harganya kalau sampai di pabrik pengolahan dalam waktu 24 jam.

Itulah yang disebut Hendrikus, sistem dan pola pembagian perkebun kelapa sawit di Kalimatan berbeda dengan pola perkebunan sawit yang diterapkan di Malaysia. Hendrikus tahu pola perkebunan sawit di Malaysia, karena salah satu kakaknya menetap di Serawak. Sang kakak pernah bercerita, di Malaysia tidak ada sistem perkebunan plasma-inti seperti yang diterapkan di Kapuas Hulu. Semua perkebunan sawit di sana menggunakan sistem sewa kepada masyarakat, yang dikembalikan setelah 10 tahun. “Di sini [Kapuas Hulu] yang punya modal katanya juga dari Malaysia, tapi sistemnya tidak mensejahterakan rakyat.”

Joni Mawang, bekas patih Kampung Janting, Badau, punya cerita lain. Masyarakat di kampungnya, semua warga menolak masuknya perkebunan kelapa sawit sebab sudah tahu antara sistem yang diterapkan di Indonesia dengan yang ada di Malaysia, berbeda. Selain sistemnya langsung menyewa, di Malaysia, ada deviden yang diberikan perusahaan kepada masyarakat dan pekerja. Upah yang dibayarkan kepada pekerja juga relatif lebih besar dibandingkan dengan upah pekerja sawit di Kapuas Hulu yang hanya Rp 39 ribu per hari. Apabila pekerja yang sudah tua, di perkebunan kelapa sawit Malaysia, mereka masih dibayar dengan gaji dan asuransi 150 ringgit per bulan.

“Kami [masyarakat] sudah trauma dengan perkebunan kelapa sawit [di Kapuas Hulu] karena sebelumnya sudah ada dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu Rokan Group dan PT Plantana Razindo Plantations. Dua perusahaan itu terbukti hanya mengambil kayu, karena alasan bangkrut.”

Arie Munir yang pernah bekerja di Walhi Pontianak bercerita, Robert, pastor Gereja Santo Yoseph yang membawahi Paroki Empanang dan Kecamatan Puring Kencana mengungkapkan, pola 80:20 ditolak masyarakat karena dengan sistem itu, masyarakat merasa akan kehilangan lahan, kehilangan identitas sosial-budaya, dan upah buruh yang rendah. Mereka karena itu menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit. “Surat pernyataan penolakan masuknya perkebunan kelapa sawit di Empanang di tandatangani oleh sekitar 100 orang, mereka berasal dari pihak ketemenggungan dan pemuka masyarakat,” kata Robert.

Hendrikus mengakui, tanah mereka memang sudah tergadai. Dari seluruh dusun yang ada di Kecamatan Empanang, hanya tersisa Dusun Empanang, Batu Ampar, Semayus, Batu Pansap, Sebindang yang menolak perkebunan sawit. Dusun mereka terkepung. Seperti pulau di tengah lautan sawit.

“Warga masih belum tahu, tanah [mereka] ini sudah digadaikan oleh pemda ke perusahaan, termasuk tanah rumah yang saya tempati sekarang,” kata Hendrikus. Sekitar setahun kemudian, Hendrikus berkabar kepada saya, lahan-lahan warga juga lahan miliknya, sudah diserahkan ke perkebunan sawit, dan hanya menyisakan kawasan hutan lindung dan hutan adat.

Membaca berita tentang hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan yang dibakar untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, saya teringat pada kisah Bantin yang tega menghantam wajah Usat, sang bapak, gara-gara adu mulut karena persoalan menerima atau menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit di dusun mereka. Perkebunan kelapa sawit di Kapuas Hulu, memang telah mengubah hutan, dan mungkin sikap warga di sana. Entah ke mana empu Bangau, yang disebut A Sukarna, eks mantan mantri polisi itu.

Saya teringat, ketika mereka, termasuk Tumenggung, tokoh Dayak yang bertato hingga ke leher [konon tato di leher itu menunjukkan pengalaman pernah memenggal kepala manusia] menemui saya, yang datang ke sana sebagai wartawan. Berharap saya akan mengungkap nestapa mereka: hutan-hutan adat yang dirampok dan disulap menjadi perkebunan sawit. Sayalah mungkin satu-satunya orang berdarah Madura yang dipeluk oleh mereka, dan diangap sebagai malaikat penolong meskipun tentu saja, saya juga tak berdaya.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar