Sabtu, 31 Oktober 2015

Meminta Orang Rimba Hidup Menetap = Kekerasan Kultural

Dalam kunjungannya menemui perwakilan Orang Rimba di Jambi, Jokowi menginginkan agar hidup mereka tak lagi nomaden. Buat saya, ini adalah bentuk kekerasan kultural. Ini adalah sebuah sikap paradigmatik yang dilatari oleh mentalitas superior terhadap bangsa atau kelompok lain. Akibatnya, pemahaman jenis ini percaya bahwa cara menempuh hidup cuma ada satu, yakni cara hidup "kami", dan itu lebih baik dari cara hidup "kalian", dan sudah seharusnya "kalian hidup seperti kami".

Ketika dilakukan negara, maka ia menjadi kekerasan kultural-struktural. Ini persis seperti apa yang dilakukan pemerintah Australia (pendatang dari Eropa) terhadap suku Aborigin, kelompok pendatang yang datang lebih dulu--untuk tidak mengatakannya "suku asli", "pribumi", dan sebagainya.

Yang dilakukan adalah dengan memisahkan anak-anak Aborigin dari orangtuanya untuk tinggal dan dididik di keluarga kulit putih. Alasannya adalah untuk memudahkan proses integrasi orang Aborigin ke kehidupan modern--selain juga alasan untuk melindungi anak. Tentu, selalu ada alasan berkesan "mulia" untuk menjustifikasi arogansi modernitas, yang ujung-ujungnya, kita tahu, sebenarnya untuk medominasi.

Mentalitas superior kulit putih terhadap pendudukan jajahannya telah merampas hak anak-anak tersebut untuk hidup bersama keluarganya. Mereka dikenal sebagai "stolen generation", sejak istilah itu dipakai pertama kali oleh sejarawan Peter Read pada 1981. Pada 2008, pemerintah Australia meminta maaf karena kebijakan masa lalunya ini.

Kalau saya punya pendapat begini, ini bukan perkara romantisme. Ini bukan tentang heroisme budaya ala Taman Mini Indonesia Indah dan turunannya, dengan slogan-slogannya yang lugu sekaligus konyol seperti "save our heritage" atau "lestarikan budaya asli". Saya bukan penganut paham demikian.

Dalam konteks ini, saya percaya, perubahan adalah keniscayaan. Tiap masyarakat akan terus berubah. Tapi perubahan adalah pilihan dan konsensus. Dan tidak berubah pun bukan berarti "terbelakang". Sebaliknya, yang harus negara lakukan adalah menjamin hak warga negara dengan memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal, termasuk kebutuhan mengekspresikan budaya sekolompok masyarakat.

Nomaden bagi Orang Rimba, sejauh yang saya tahu, bisa dimaknai sebagai wujud ekspresi budaya. Hal ini terkait dengan "melangun", yakni tradisi berpergian jauh dalam waktu lama ketika ada sanak keluarga yang meninggal. Melangun dilakukan untuk membuang sial dan mengusir kesedihan karena kematian. Waktunya tak menentu, dan ketika selesai Orang Rimba akan memilih lokasi yang baru untuk ditinggali. Hari ini, masa melangun tidak bisa lama karena semakin kecilnya wilayah mereka akibat pembukaan lahan perkebunan, selain juga adanya kekhawatiran dijarahnya tempat tinggal mereka oleh para bedebah.

Maka yang mesti dilakukan Jokowi bukan meminta Orang Rimba angkat kaki dari tanahnya dan hidup menetap, tapi melindungi haknya dengan menjamin ruang hidupnya agar tidak terusir (dan terasapi), salah satunya, oleh perusahaan sawit.

Namun, ungkapan Jokowi tersebut sebenarnya tidak saja mewakili cara pemerintah dalam memandang keberadaan masyarakat adat, tapi juga mewakili kebanyakan masyarakat yang mabuk modernitas. Cara pandang itu setara dengan Trans TV lewat programnya "Primitive Runaway" yang pernah saya ulas 5 tahun lalu di Koran Tempo: Mereka Bukan Primitif (https://roythaniago.wordpress.com/2010/11/24/mereka-bukan-primitif/)

(Roy Thaniago)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar