Jumat, 16 Oktober 2015

Peristiwa dan Media Kita

Setiap ada peristiwa tertentu yang sedang hangat di linimasa media sosial, rutinitas yang saya lakukan adalah mengetik kata kunci kejadian tersebut di google. Saya penasaran seperti apa media-media online memberitakan sebuah peristiwa dengan cepat. Biasanya, jika melihat karakter kecenderungan media online di Indonesia, berita-berita di menit-menit awal pasca kejadian tidak akan banyak menunjukkan kebijakan redaksi sebuah media.

Akan sulit menilai framing atau bingkai berita di awal peristiwa karena fokus ada pada kejadian. Kecepatan berita datang dengan spontanitas, satu hal yang kemudian bisa menunjukkan karakter, persepsi, keyakinan atau bias-bias tertentu seorang wartawan yang sudah melekat di kepala. Baru kalau sudah agak berjarak, posisi politik kebijakan redaksi akan terlihat gamblang. Itu sebabnya kenapa berita-berita di media online kerap diralat belakangan, baik dari sisi akurasi data, atau juga sampai penggunaan istilah-istilah tertentu.

Saya menemukan hal yang sama ketika membaca berita pembakaran gereja di Aceh Singkil beberapa hari lalu. Firdaus Mubarik memberikan rangkuman singkat tentang berita-berita awal tentang Aceh Singkil di empat media Kompas, Detik, Tempo dan Republika. Dari amatan sekilas Firdaus, tidak ada perubahan berarti pada cara media meliput isu agama dibanding satu dekade belakangan. Salah satu indikasinya adalah tidak satupun dari empat media di atas menjelaskan latar belakang kasus yang sudah terjadi sejak 1979 di mana terjadi kekerasan terhadap warga Kristen yang menyebabkan warga mengungsi.

Sebenarnya, jika diperhatikan, media pertama yang mengangkat isu ini adalah CNN Indonesia. Pada pukul 15.39 mereka menayangkan berita berjudul Kerusuhan Pecah di Aceh Singkil, 100 Lebih Tentara Berjaga. Berita sepanjang 82 kata itu dimulai dengan istilah bentrokan dengan menggunakan sumber tunggal Bupati Aceh Singkil. Sampai pukul 17.44 ada 9 item berita yang dikeluarkan CNN Indonesia. Paling banyak dibanding media-media lain. 4 berita di antaranya menggunakan istilah bentrok.

Dalam konteks kritik Firdaus, CNN Indonesia pemberitaanya lebih lengkap karena memberikan sekilas konteks historis di Aceh Singkil. Tapi jika memperhatikan istilah bentrok yang masih digunakan, saya sepakat bahwa bias wartawan dalam berita-berita mengenai kekerasan terhadap agama secara umum masih begitu besar.

Jika mengacu pada KBBI bentrok diartikan sebagai / 1 bercekcok; berselisih; 2 berlawanan; bertentangan; 3 berlanggaran; bertumbukan;/ Ada kesan adu kekuatan yang sama kuat dan seimbang di sana. Pertanyaannya, benarkah sebuah aksi penyerangan dan pembakaran bisa disebut bentrok? Benarkah kejadian yang memicu ribuan orang mengungsi adalah sebuah bentrokan?

Persis di situ letak masalahnya. Setiap istilah dalam penulisan berita selalu memiliki implikasi politis tertentu, sadar atau tidak disadari. Ia menjadi alat untuk melakukan pembingkaian dan membentuk apa yang disebut sebagai picture in our head, gambaran tertentu dalam benak kita. Sebagai contoh, tentu istilah bentrok, rusuh, serangan, pembantaian, dan sebagainya itu tentu saja memiliki makna serta konsekuensi yang berbeda-beda.

Membaca Berita Aceh Singkil

(Wisnu Prasetya Utomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar