Kamis, 05 November 2015

Margie

Margareth jatuh cinta pada Alexander, pria yang dikenalnya lewat media sosial. Awalnya platonis. Dari saling sapa di Facebook dan Twitter, berkembang dengan saling memberi nomor ponsel. Dia dan Alex lalu sering menyapa.

Setiap pagi pada jam yang juga selalu sama, Alex yang nun jauh berada di kota lain selalu berkirim pesan padanya“Apa kabarmu pagi ini Margie? Sudah sarapan? Jangan lupa sarapan ya? Jaga diri baik-baik.” Rutin. Dan Margie tentu klepak-klepek.

Tak ada pria yang melakukan itu sebelumnya kepadanya. Tidak juga Benson, laki-laki pemuka agama, pacarnya sebelumnya.

Sehari saja Alex tak menyapanya, Margie merasa tanah yang diinjaknya seperti retak. Petir seolah menyambar-nyambar. Dia akan merasa diangkat oleh malaikat ke langit bila Alex menuliskan sesuatu yang khusus di Facebook atau di Twitter, misalnya semacam puisi. Merasa tidur di awan bila Alex menulis untuknya "Engkaulah debur ombakku."

Sewaktu Alex menawarkan dan mengajaknya untuk berkunjung ke kotanya, Rosetta; Margie semakin percaya Alex adalah pria idamannya. Tak salah lagi.

Dua bulan lamanya Margie menikmati hubungan jarak jauh semacam itu dengan Alex, hingga suatu hari, mereka bersepakat untuk bertemu. Bukan di kota tempat tinggal Alex melainkan di Kairo, kota tempat tinggal Margie. Keduanya segera menyusun waktu, tapi sehari menjelang pertemuan, Alex mengabarkan batal datang sebab harus menyelesaikan urusan A-Z di kantornya yang tak bisa ditinggalkan. Margie agak kecewa tapi dia bisa memaklumi.

Bagaimana pun Alex adalah orang terkenal di Rosetta, setidaknya seperti itulah yang pernah disampaikan Alex pada Margie. Dan sebagai orang terkenal di kota kecil itu, tentulah banyak hal yang diurus oleh Alex.

Mereka lalu menyusun kembali jadwal untuk berjumpa. Kali agak lebih serius dengan menentukan, Hari H, Jam J, Menit M, Detik D, di Bandara Kairo. Keduanya juga saling memberitahu warna pakaian mereka saat pertemuan. Margie akan mengenakan blous warna merah, Alex akan mengenakan kemeja lengan panjang warna hitam.

Hari yang ditunggu-tunggu oleh mereka tiba. Sebuah pesawat domestik untuk penerbangan terakhir mendarat setengah berguncang dengan bunyi roda berderit. Margie sudah bersiap di tempat parkir ketika petugas bandara mengumumkan kedatangan pesawat Alex. Dia segera menyisir rambut, mengecek lipstik dan membetulkan tali BH di pundak kanannya yang setengah mluntir.

Agak tergesa-gesa dia keluar dari mobilnya. Hasratnya ingin segera menyongsong Alex, pria pujaan yang dikenalnya lewat Facebook dan Twitter sudah menyesak di dada. Dia bahkan sengaja tak makan karena bermaksud mengajak Alex makan malam di Zitouni atau di Wadi El Nil, retostan favoritnya di pinggir Nil. Menikmati sup kepiting atau sup molokhia, tapi Margie memutuskan tak akan memilih. Dia akan membiarkan Alex yang memilihkan menu untuknya.

Kini dia melangkah dari tempat parkir dan terus berjalan lurus menuju pelataran di depan pintu kedatangan. Paha dan betisnya mulai gemetaran tapi bukan sebab jantungnya berdetak lebih kencang menahan gejolak bertemu Alex, melainkan karena dia kelaparan. Cinta memang membutuhkan pengorbanan, dan menahan usus meliuk-liuk adalah pengorbanan terbesar Margie malam itu. Dia bertekad, akan menjadikan malam itu sebagai malam yang indah. Paling indah dalam hidupnya.

Tiba di pelataran, tangannya segera memencet ponsel. Berkirim pesan pada Alex, dan dalam sesaat, Alex mengirimkan kabar, sudah keluar dari pesawat. Sejenak Margie mematut ke pintu kaca masuk. Dia kembali membetulkan rambutnya. Memonyongkan bibirnya dan menarik bagian bawah blousnya.

Dan inilah waktunya: Margie melihat laki-laki berkemeja lengan panjang warna hitam keluar dari pintu kedatangan. Dari jauh, pria itu juga melihat ke arah Margie dan segera menebarkan senyum. Tak diragukan lagi itulah Alex. Masyaallah, tapi benarkah pria itu Alex yang dikenalnya lewat Facebook dan Twitter?

Margie setengah percaya setengah tak percaya dengan yang dilihatnya, dan terus berusaha meyakinkan diri bahwa pria yang mulai berjalan ke arahnya adalah benar Alex, dan memang benar Alex. Posturnya cukup tinggi sesuai dengan pengakuannya dalam pesan-pesan yang pernah disampaikan di Facebook dan Twitter selama dua bulan terakhir. Tapi senyumnya, membuat Margie menyangkal pria itu adalah Alex: Margie melihat gigi yang bertumpuk-tumpuk, dan kulit wajah yang tak secerah seperti di foto-foto yang pernah dikirimkan padanya.

Dan, apa itu? Ya Allah Alex mengenakan celana cingkrang mirip celana tradisional India, Pakistan atau Afghanistan. Di pundaknya terlihat satu ransel kecil, dan tangan kanannya meneteng tas kresek warna hitam.

“Margie?”
“Alex?”
“Ya. Senang melihatmu Margie.”
“Eh iya, anu...”

Kikuk mulai menghinggapi Margie. Dia merasa ada sesuatu yang menjalar di tubuhnya. Sesuatu yang dia tak mengerti, mengapa hasratnya mulai menurun, malah seperti ilfill.

Alex kembali menyapa dan menyodorkan tas kresek pada Margie.

“Ini oleh-oleh untukmu?”
“Apa ini?”
“Bandeng presto.”
“Bandeng? Presto?”
“Aku berharap kamu suka.”

Margie menerima tas kresek itu dari tangan Alex, betapa pun bandeng bukan makanan favoritnya. Apalagi yang presto. Hasratnya semakin menurun. Ususnya semakin meliuk-liuk tapi Margie segera menguasa diri. Dia mengajak Alex ke parkiran, dan segera membawanya keluar dari bandara.

“Alex, kita makan malam dulu ya?”
“Tidak Margie, terima kasih. Aku sudah makan.”
“Hah? Apa? Kamu sudah makan?”
“Di pesawat.”

Margie mulai merasakan ada yang salah dengan pria yang kini duduk di sebelahnya di dalam mobil. Dia berjam-jam menuju ke bandara untuk menjemput laki-laki tak dikenal itu, dan sengaja tidak makan karena ingin makan berdua. Lalu setelah bertemu, laki-laki itu dengan enteng bilang sudah makan?

Astagfirullah. Sama sekali tak punya perasaan. Tak ada basa-basi. Margie memacu mobilnya masuk ke jalan tol. Dia mulai menekuk wajahnya. Hening sejenak sebelum Margie mengambil inisiatif berbicara.

“Alex, kamu jangan terlalu berharap dengan hubungan kita.”
“Setidaknya kita bisa penjajakan Margie.”
“Aku tidak mau. Kita tidak mungkin melanjutkan hubungan ini.”
“Kenapa? Ada yang salah denganku?”

Oh Allah, laki-laki ini memang tolol. Margie memejamkan mata sambil membatin. Mobilnya segera melenceng agak ke tengah jalan dan hampir saja dihajar sebuah bus yang melaju kencang. “Hai, apa ibu bapakmu tak memasang mata padamu?” Suara sopir bus terdengar ke mobil Margie.

Margie sudah tak tahan. Dia mengarahkan mobilnya ke pintu tol terdekat dan segera menepi saat keluar daru saba. Alex yang baru kali pertama datang ke Kairo tak bereaksi apa-apa hingga Margie memintanya turun.

“Alex, aku kira, kamu bisa melanjutkan naik taksi.”
“Kamu naik apa Margie?”
“Turun Alex!”

Alex kebingungan, tapi dia menuruti perintah Margi dan segera membuka pintu, lalu kembali menutupnya. Dia membungkukkan badan. Kepalanya nongol di jendela.

“Margie, bagaimana caranya dari sini ke rumah budeku?”
“Masuk ke dalam taksi dan sebutkan alamat rumah budemu.”
“Ongkosnya berapa? Aku tak punya cukup uang.”
“Tidak mahal. Tapi aku tak yakin harganya.”
“Kenapa kamu marah?”
“Pertama, aku takut dengan gigimu yang menumpuk.”
“Gigiku memang bermasalah.”
“Gara-gara gigimu, kamu juga sering sariawan kan?”
“Bagaimana kamu bisa menebak Margie?”
“Kedua, aku tambah takut.”
“Ayolah Margie...”
“Ketiga, aku juga tak suka kamu sudah makan sementara berjam-jam aku menunggumu dan belum makan.”
“Aku minta maaf. Kita bisa makan malam sekarang.”
“Tidak. Aku sudah tak mau.”
“Ayolah Margie...”
“Keempat, aku tak suka dengan laki-laki bercelana cingkrang.”
“Margie, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Ini bukan aku sengaja. Aku dalam masa pertumbuhan dan celanaku cepat menjadi pendek.”
“Terakhir Alex, aku tak suka bandeng presto."
"Aku akan belikan kamu tape."
"OK, goodbye Alex.”

Margie mengulurkan tas kresek hitam yang diberikan oleh Alex pada Alex, lalu melajukan mobilnya dengan lekas. Dia masih tak bisa percaya dengan yang baru saja terjadi. Alex yang terkenal di kotanya, Alex yang penyair, Alex yang...

Ya Allah, mengapa laki-laki seperti Alex yang datang padaku. Margie kembali membatin. Paha dan betisnya semakin gemetaran. Dia betul-betul kelaparan sekarang.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar