Kamis, 03 Desember 2015

Media Berganti, Diskriminasi Berlanjut

Film dan sastra hanyalah dua dari banyak media untuk menyalurkan gairah orang berkisah dan menikmati kisah. Keduanya tak bebas dari kepentingan, persaingan, dan diskriminasi.

Festival Film Indonesia 2015 memicu gugatan terhadap diskriminasi yang “semena-mena membelah sinema ke dalam label-label: arus utama, arus samping, film bioskop, film festival, dan berbagai macam lainnya”.


30 tahun yang lampau, ketika sastra menjadi media yang lazim bagi banyak orang untuk bertutur kisah, dan membuat filem hanya dapat dilakukan segelintir orang Indonesia, terjadi debat atas diskriminasi serupa: karya sastra yang diterbitkan lembaga bergengsi versus yang diterbitkan di media massa umum; karya sastra yang dibahas di majalah sastra bergengsi atau di pusat kesenian di ibukota propinsi versus karya sastra amatiran di kalangan kaum awam.

(Ariel Heryanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar