Kamis, 03 Desember 2015

Organisasi

Saya tidak tahu persis kapan wacana kelembagaan mulai surut dalam percaturan politik kita. Mungkin bagi Anda yang pernah ikut kursus-kursus politik sebelum Soeharto jatuh, tidak akan lupa bahwa selalu ada materi tentang organisasi. Tajuknya bisa beragam, mulai dari 'Tentang Organisasi' sampai 'Mari mengorganisir'.

Perkembangan dunia digital memungkinkan kita untuk terus melecut dan berinteraksi dengan banyak gagasan. Tapi 'melenyapnya' wacana kelembagaan nyaris tak pernah dipertanyakan. Padahal sejarah pemikiran kita tidak pernah memisahkan antara isu dengan lembaga. Kontestasi gagasan selalu jumbuh dengan pergesekan dan eksperimen kelembagaan.

Di situlah lagi-lagi, semoga Anda tidak bosan, hebatnya Pramodya Ananta Toer. Tetralogi Buru bukan hanya pergulatan pemikiran dan psikologi yang apik, bukan semata kisah romansa yang epik, tapi juga potret jernih dengan segala pernik yang kentara dalam pigura besar urusan organisasi.

Maka sering saya dapati, isu melejit ke depan, jawaban dalam makna yang paling operasional yakni 'alat' bernama organisasi tak pernah ikut tercangking.

Bagaimana PNI dulu dibangun. Sistem ekonomi kepartaiannya bagaimana, iurannya berapa, manajemen rumah tangganya seperti apa, struktur dari bawah ke atas bagaimana, politikus mereka kerja penuh waktu atau sesuka mereka, kalau penuh waktu bagaimana keluarga mereka bisa hidup, dll dll. PNI bisa saja kita ganti dengan Masyumi atau PKI atau yang lain. Kok bisa PKI yang disikat bersih tahun 1948, dalam waktu nisbi singkat, kurang dari 10 tahun, bisa muncul menjadi partai besar. Bagaimana pola dan manajemen organisasinya. Dll. Dll.

Tentu saja implikasi politik dari ditinggalkannya persoalan kelembagaan dalam percaturan politik ini sangat besar. Di tingkat yang paling dasar misalnya, jika ada persoalan tertentu ketika sudah diketahui jawabannya, tidak sampai pada 'siapa yang mengerjakannya' dan 'bagaiman cara mengerjakannya'.

Di tingkat yang lebih rumit lagi, seperti kejadian dari mulai apel Washington sampai Papa Minta Saham, tidak ada yang bertanya lebih mendasar misalnya bagaimana Golkar, Demokrat, PDIP, Gerindra, dan partai-partai itu hidup? Uang siapa? Bagaimana mendapatkannya? Dll.

Mungkin hal itu terjadi sejak kita merasa secara moral benar bahwa kalau 'tahu' tidak ada urusannya dengan 'tanggungjawab'.

Mungkin. Saya juga gak ngerti-ngerti amat...

Selamat ngopi...

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar