Rabu, 02 Desember 2015

Muhammad Suhud

Saya mengenal namanya ketika melakukan riset pembantaian oleh Kopassus terhadap empat tahanan di penjara Cebongan, Yogyakarta. Namanya Muhammad Suhud. Dia adalah ketua sebuah organisasi yang menamakan dirinya Paksi Katon (Paguyuban Seksi Keamanan Kraton).

Dalam ingatan saya, nama Muhammad Suhud itu muncul ketika segerombolan orang menyerbu rumah kontrakan sosiolog George Aditjondro. Saat itu, George dituding sebagai anti-Kraton karena ucapannya dalam sebuah diskusi tentang Sultan-ground atau tanah-tanah yang dimiliki Sultan di DIY.

Awalnya, ini adalah sebuah organisasi keamanan untuk Kecamatan Kraton. Namun, partisipasinya dalam memperjuangkan status keistimewaan Yogyakarta mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi. Kini dia bernama Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Paksi Katon DIY.

Organisasi ini sekarang sudah besar. Salah satu berita yang saya telusuri, Paksi Katon menjadi satu 'Bregodo' dalam pasukan Kraton Ngayogyakarta. Ada 70 orang yang dipilih 'dengan seleksi ketat ' untuk menjadi anggota bregodo ini. Sementara itu, Paksi Katon sendiri mengklaim memiliki sekitar 600 relawan yang tersebar di empat kabupaten di DIY.

Nama Paksi Katon ini mencuat selain pada saat menuntut 'Keistimewaan DIY' dan kasus pembantaian Cebongan, juga pada saat-saat mereka menghadang unjuk rasa para mahasiswa Papua.

Pada Juli 2014, Paksi Katon membubarkan aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Pada saat itu Suhud dikutip mengatakan, ""Aksi yang dilakukan sudah menjurus ke tindakan separatis. Ironisnya, aksi ini dengan gamblang dilakukan di Yogya yang merupakan bagian dari wilayah NKRI yang berdaulat." Pernyataan ini agak membingungkan saya. Karena pada saat demonstrasi-demonstrasi menuntut keistimewaan DIY, ada banyak spanduk yang 'mengancam' bahwa DIY akan memisahkan diri dari NKRI kalau tidak diberikan status Daerah Istimewa. Bahkan di media sosial muncul foto-foto paspor DIY.

Masih pada tahun lalu, Paksi Katon mengadukan sebuah organisasi rakyat di Kulon Progo yang mereka tuduh melakukan penghinaan terhadap Sultan. Organisasi itu, Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo, menentang penambangan pasir besi di sawah-sawah yang mereka garap. Sultan adalah pemilik tanah yang mereka garap itu. Untuk tujuan itu, PPLP memasang banyak spanduk penentangan tambang. Salah satunya berbunyi, "‘to Sultan HB X Jangan Kau Jual Tanahku Jual Saja Istrimu". Dan oleh Paksi Katon spanduk itu dituduh 'mencemarkan nama baik Sultan.'

Nah, pada 1 Desember kemarin, Suhud pun pun kembali membuat berita. Bersama 29 organisasi massa di Yogyakarta, dia mendeklarasikan berdirinya Front Jogja Anti Separatis (FJAS). Organisasi yang tergabung itu antara lain Paksi Katon, Front Anti Komunis Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Jogja Rembuk, Banser, GP Ansor, Pareanom, Gerakan Pemuda Islam, Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, dan Pagar Nusantara. Mereka menolak segala bentuk aksi unjuk rasa separatis OPM di Yogyakarta.

[Perhatikan, diantara 29 organisasi itu ada Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB. Hello, toleransi???!!!]

Di koran, Suhud dikutip mengatakan, "Yogyakarta kota pelajar, budaya, dan wisata yang aman damai telah dikotori dan dibuat tidak nyaman oleh OPM. Saya mengajak semua warga Yogya untuk peduli dan menjaga Yogyakarta dari gerakan separatis OPM ... Mari kita bangkit dan usir gerakan separatis OPM di Yogyakarta."

Ketika terjadi kasus Cebongan, saya mendapat banyak laporan betapa beratnya menjadi orang NTT di Yogyakarta. Banyak provokasi dilakukan tehadap mereka yang berkulit gelap dan rambut keriting. Orang NTT mendapat stigma sebagai preman. Walaupun untuk mereka yang tahu sejarah premanisme di Yogya, ini akan terasa lucu. Karena operasi pembantaian preman besar--besaran, Penembakan Misterius, di mulai di Yogyakarta.

Kini pun saya mendengar banyak provokasi yang sama dilakukan terhadap orang Papua. Belum lagi stigma bahwa mereka bodoh, banyak yang putus kuliah, tidak beradab, dan pemabuk.

Yang menjadi persoalan adalah haruskah soal-soal separatis dan unjuk rasa ini ditangani oleh orang semacam Muhammad Suhud? Mengapa aparat-aparat keamanan lebih suka menggunakan 'proxy' orang-orang seperti Suhud?

Kita belum masuk ke wilayah yang lebih dalam seperti wilayah prasangka (prejudice), rasisme, dan hak untuk mengemukakan pendapat.

Memang banyak hal yang 'istimewa' dari Yogyakarta.

(Made Supriatma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar