Senin, 09 November 2015

Edoismo

Saya punya selera yang kadang ganjil. Kebanyakan teman-teman saya suka nonton balap motor dan mobil, saya gak suka. Kebanyakan teman-teman saya suka MU, Barca, Juve, Milan, eh saya malah memilih AS Roma. Kebanyakan teman saya suka musik jaz dan cadas, saya tetap suka dangdut koplo Pantura atau lagu-lagu lama awal 90an seperti Andy Liani dan Anang.

Selera saya yang gak begitu bagus, mungkin juga ada pada preferensi saya atas karya sastra. Tentu saya menghormati selera orang. Tapi bukan berarti saya harus ikut selera yang lain. Selera tumbuh dengan cara yang khas, yang tak mudah dilacak, dan terlalu berlebihan kalau mau dilacak. Seperti kurang kerjaan saja.

Mungkin karena itu pula, saya jarang menyambut antusias terbitnya sebuah buku. Antusias dalam arti: benar-benar menunggu terbitnya, benar-benar penuh gairah dalam membacanya. Sehingga sering kali saya membaca beberapa buku berulang kali hanya karena memang saya merasa bergairah, dan belum dapat ganti mereka.

Hingga beberapa bulan lalu, saya diberitahu oleh seseorang bahwa Eddward Samadyo Eddward S Kennedy merampungkan novelnya. Saya pembaca karya-karyanya, termasuk kumpulan tulisan sepakbolanya yang terhimpun dalam buku 'Sepakbola Seribu Tafsir'. Saya tidak suka judul buku itu, tapi saya suka tulisan-tulisan di buku itu. Saya suka tulisan Edo, begitu panggilan mesranya, sama seperti saya sangat menikmati tulisan-tulisan sepakbola Darmanto Simaepa dan Mahfud Ikhwan. O ya, kumpulan tulisan Darmanto tentang sepakbola sebentar lagi terbit, disunting oleh Fahri Salam.

Begitu mendengar novel Edo jadi, saya antusias. Saya membayangkan sebuah novel yang cepat, lincah, spontanitas tinggi, dan meledak-ledak, seperti barisan penyerang AS Roma yang sekarang ini mengoleksi gol terbanyak di berbagai liga di seluruh dunia.

Saya meminta izin untuk membacanya. Tapi sayang, dia enggan memberikannya ke saya. Mungkin karena saya dianggap belum punya kasta yang cukup untuk membaca kitab anggitannya itu.

Malam ini, saya bertemu lagi dengan Edo dan kawan-luka-satu-airmata-nya: Aunurrahman Wibisono. Saya merengek dan mengiba agar diberi naskah tersebut. Saya butuh bacaan yang ganjil. Tetap saja Baginda Edo bergeming.

Akhirnya saya memberi penawaran bahwa saya bersedia menjadi penyunting novelnya. Saya sudah menyunting lebih dari 60 buku. Tapi saya tak pernah mau menyunting novel. Jika Edo berkenan, maka novel debutannya ini bakal menjadi novel pertama yang saya sunting.

Tapi Edo tetap diam. Tak mengiyakan. Maka saya meminta bantuan teman-teman untuk menulis di kolom komentar, memberi dorongan agar Edo segera mau menerbitkan novelnya, lepas dari apakah saya akan menjadi penyuntingnya atau tidak.

Jika Edo tidak menerbitkan novelnya, setidaknya dia telah menutup celah para pembaca sastra Indonesia, untuk membaca karya yang punya stilistika berbeda.

Demikian.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar