Senin, 09 November 2015

Membunuh atas Nama Tuhan

Dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-41, James Foley dieksekusi Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS di Raqqa, Suriah. Prosesi eksekusi jurnalis Amerika ini ditayangkan dalam video yang disebarkan di internet oleh ISIS pada 19 Agustus 2014.

Jim, demikian Foley biasa dipanggil oleh rekan-rekannya, mengenakan baju tahanan warna oranye dan berlutut di pasir, lalu algojo berjubah hitam dengan sebagian wajah tertutup kain hitam itu memenggal kepalanya. Sudah dua tahun dia hilang di Suriah sebelum akhirnya video tersebut beredar. Sehari kemudian rekan saya, David Case, editor Global Post di Boston dan juga rekan Jim, menulis pesan duka di Twitter yang berisi tautan untuk membuka laporan-laporan terbaik Jim dari wilayah-wilayah konflik di Irak, Afghanistan dan Libya yang pernah dimuat media itu sebagai cara menghargai dedikasinya terhadap jurnalisme. Dan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh ISIS belum berhenti sampai hari ini. Negara Suriah yang masih berdaulat dan dipimpin presiden Bashar al-Assad itu mencoba melumpuhkan basis-basis kelompok beraliran Sunni tersebut, tapi gagal. Sementara Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya menganggap presiden Assad telah melakukan kekerasan terhadap minoritas Sunni.

Sejarah dunia membuktikan kepada kita bahwa ekstremisme yang mengatasnamakan agama ataupun kepercayaan tertentu bukan kecenderungan baru atau tren yang terjadi belakangan ini saja. Ekstremisme dapat muncul di semua agama di berbagai negara di seluruh dunia di segala zaman. ISIS hanya salah satu bentuk ekstremisme yang mengerikan, brutal dan memuakkan, dengan mengatasnamakan Islam.

Di Indonesia, ada sekte Salamullah. Ekstrem, tapi tidak kejam. Mungkin karena ia belum terlalu kuat, juga tidak bersenjata. Pemimpinnya adalah Lia Eden, yang bernama lahir Lia Aminuddin. Lia dulu ahli merangkai bunga. Suatu hari dia mengumumkan bahwa malaikat Jibril telah datang memberinya wahyu. Sejak itu dia mengubah nama belakangnya menjadi Eden. Beberapa bulan lalu Lia mengirim surat kepada presiden Joko Widodo untuk mengizinkan Jibril mendaratkan UFO di Monas, Jakarta. Beberapa tahun lalu dia membuat pernyataan di media nasional bahwa kiamat akan datang dalam wujud banjir besar. Dia dan sejumlah pengikutnya terbirit-birit mengungsi ke kawasan Puncak yang berada di luar Jakarta agar selamat. Tapi banjir sama sekali tidak datang.

Ku Klux Klan. Siapa yang tak pernah mendengar namanya. Ini sekte yang mempraktikkan rasisme di Amerika Serikat. Sekte berlambang salib terbakar itu lahir pasca perang pembebasan budak (1860 – 1865). Semula Klan anti terhadap orang-orang kulit hitam, lalu memperluas target operasinya kepada orang-orang kulit berwarna yang lain dan Yahudi. Mereka membunuh. Klan kini tidak sendiri. Kelompok supremasi kulit putih menguat di Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir. Para imigran gelap menjadi sasaran mereka, karena dianggap akan mengancam kesempatan kerja orang-orang kulit putih Amerika. Dalam salah satu pawainya, pendukung kelompok ini mengibarkan bendera berlambang swastika, bendera Nazi. Salah satu praktik ekstremisme yang monumental di Amerika Serikat terkait dengan David Koresh, yang mendeklarasikan diri sebagai nabi terakhir umat manusia. Dia membunuh para penentangnya dan memperkosa anak-anak perempuan di bawah umur. Kontak senjata sekte Koresh dan FBI berakhir dengan terbunuhnya Koresh serta puluhan pengikutnya.

Puncak dari ekstremisme agama adalah terorisme, yang dipraktikkan dengan aksi pengeboman atau bom bunuh diri yang juga dilakukan gerakan bawah tanah Islam militan di Indonesia. Pengeboman dua kafe di Bali pada 2002 yang menyebabkan 212 orang meninggal dunia dan pengeboman hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003 adalah aksi-aksi terorisme di Indonesia yang sering dihubungkan dengan keterlibatan Jamaah Islamiyah (JI), gerakan Islam militan di Asia Tenggara yang bertujuan mendirikan negara Islam. Ideolognya yang terkemuka, Abu Bakar Ba’asyir. Dulu dia ikut perang Amerika melawan Soviet di Afghanistan lalu berbalik memusuhi Amerika. Ba’asyir juga memimpin Front Pembebasan Islam cabang Solo, yang menjadikan kekerasan sebagai cara mencapai tujuan dan sempat menimbulkan polemik di Indonesia untuk pembubarannya. Dia menentang penjajahan Palestina, tapi akibat rasa frustrasinya melawan ketidakadilan yang terjadi dalam konflik global dia juga mendukung tindak kekerasan membabi buta.

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau populer disebut DI/TII adalah gerakan yang jauh lebih besar dalam sejarah politik dan Islam di Indonesia dibandingkan apa yang dilakukan Ba’asyir dan kelompoknya. DI/TII dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, bekas jurnalis, pejuang anti kolonial dan sahabat Sukarno, presiden pertama Indonesia. Kartosoewirdjo pernah masuk Partai Sarekat Islam Indonesia, tapi dikeluarkan dari partai tersebut karena dianggap ekstrem. Basis pertamanya di Jawa Barat. Dia pemimpin tertinggi gerakan yang dimulai sejak sebelum kemerdekaan Indonesia ini dengan tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia. Kartosoewirjo memperoleh dukungan dari Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Ibnu Hajar di Kalimantan. DII/TII memiliki kekuatan ratusan ribu pasukan bersenjata. Dia dieksekusi pemerintah Sukarno pada 5 September 1962. Ide-idenya ternyata tidak pernah mati. Tak dapat dipungkiri bahwa pengenalan syariat Islam secara bertahap di Aceh sejak 1999 dan penerapannya kemudian tidak lepas dari pengaruh konflik politik pemerintah Indonesia dengan DI/TII di masa lalu.

Ektremisme ternyata tidak hanya dipraktikkan kelompok kecil atau minoritas, tapi juga dijalankan kelompok besar atau gerakan arus utama, dan bahkan, negara. Tujuannya, untuk menguatkan pengaruh politik yang pada akhirnya terkait dengan penguasaan aset dan akses sumber daya alam dan ekonomi.

Perdana menteri India sekarang, Narendra Modi, adalah pemimpin utama ekstremisme Hindu. Sebelum dia memimpin negara India, Modi yang menjadi salah satu kader Partai Bharatiya Janata ini memimpin langsung pembantaian sekitar dua ribuan muslim di Gujarat, India Barat, pada tahun 2002. Ekstremis Hindu bahkan menghancurkan sebuah masjid bersejarah di Ayodya, Uttar Pradesh, yang didirikan Raja Babur dari Dinasti Mughal pada tahun 1527, karena menganggap lokasi itu tempat kelahiran Sri Rama, raja dalam cerita klasik Hindu Ramayana! Ketika Modi dilantik menjadi perdana menteri, pemerintah Amerika dihadapkan pada dua opsi, yaitu mengakui pemerintahannya atau tidak sama sekali. Akhirnya Amerika mengakui pemerintahan Modi, dengan pertimbangan bahwa India merupakan salah satu negara terbesar di dunia yang tak bisa diabaikan. Kejahatan Modi dilupakan. Di masa Modi ini, orang Kristen dan muslim di India dipaksa memeluk agama Hindu di tempat-tempat yang dihuni mayoritas pemeluk Hindu. Libur “Hari Natal” di India telah resmi berganti nama menjadi “Good Govenance Day”.

Ekstremisme atas nama Tuhan pertama kali justru dipraktikkan gereja dan terjadi di Eropa, tepatnya di Andalusia masa lalu, wilayah yang kini berada di sebagian Prancis Selatan, Portugis dan Spanyol. Andalusia ketika itu pusat peradaban dan budaya Islam. Penguasa Islam tidak melakukan kekerasan terhadap penduduk negeri taklukannya selama hampir 800 tahun, tapi orang-orang Spanyol di wilayah itu tetap ingin merdeka. Mengapa? Tidak ada keadilan dalam penjajahan.

Tidak sekadar memerdekakan diri, orang-orang Spanyol melakukan reconquista dan inkuisisi, dengan kejam dan tanpa ampun. Gereja Katolik, melalui Paus di Roma, merestui “pembersihan iman” ini , yang menyebabkan jutaan jiwa manusia tumpas.

Benteng Islam terakhir di Granada jatuh pada 1492. Tapi penaklukan terus berlanjut. Setelah menemukan Tanjung Harapan, Vasco da Gama menaklukkan kerajaan Islam Goa di India dan menjadikannya koloni kerajaan Portugal. Alfondo de Albuquerque menaklukkan kekuatan Islam di Malaka dan menemukan jalan ke Nusantara, yang menandai era penjajahan Barat di Nusantara. Kolonialisme Barat menghancurkan kekuatan Islam di Afrika Selatan, Hindustan (kini India, Pakistan, Bangladesh) dan Indo-China dengan semboyan ‘gospel’, ‘gold’ dan ‘glory’. Hasilnya? Pemusnahan suatu bangsa oleh bangsa lain.

Slogan yang tersohor dari era reconquista diadopsi oleh Ordo Jesuit, salah satu sekte Katolik, yaitu “tujuan menghalalkan cara”. Tapi selama kekuasaan Orde Baru yang otoriter di masa kepimpinan Soeharto (1967-1998) di Indonesia, orang-orang komunis justru dianggap telah menerapkan slogan ini dan tuduhan tersebut menjadi pembenaran bagi militer serta sipil pendukungnya untuk membunuh hingga satu juta jiwa rakyat Indonesia antara tahun 1965 sampai 1966. Propaganda anti-komunis masih merupakan bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah di Indonesia sampai sekarang.

Fenonema yang menggemparkan dunia sekarang tentunya yang dipraktikkan Abu Bakar Al Baghdadi, sang pendiri ISIS. Sukarelawan pendukung ISIS datang dari sekitar 80 negara, termasuk Indonesia. Artinya, ISIS telah menjadi sebuah payung politik yang menyatukan gerakan, aspirasi, impian dan kepentingan kaum militan di seluruh dunia. Selain sebagai reaksi terhadap tatanan dunia Arab yang dianggapnya telah dirusak oleh rezim-rezim yang korup, ISIS juga reaksi terhadap kekuatan-kekuatan besar dunia yang justru mendatangkan kehancuran dan pertumpahan darah yang lebih mengerikan di Irak pasca Saddam Hussein. Para penghuni negeri yang hancur itu sebagian meninggalkan tanah air mereka, menjadi pengungsi.

Apa yang terjadi di dunia hari ini adalah juga terjadi di masa lalu dan pasti terjadi di masa depan, selama perimbangan kekuatan di dunia global tidak mencapai titik keseimbangan strategis yang diharapkan mampu membawa keuntungan bagi semua pihak. Akibatnya, tindakan ekstrem atas nama agama atau ideologi apapun pasti terus terjadi. Kematian James Foley dan siapa pun yang menjadi korban lambat-laun hanya tercatat sebagai angka.***

September 2015

(Linda Christanty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar