Senin, 09 November 2015

Paket Obral Jilid 6

Setahun lalu, sesudah Presiden Joko Widodo berjualan proyek infrastruktur dalam KTT APEC di Beijing, di dinding ini saya menulis tentang peringatan Soekarno pada 1930 atas bahaya pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh modal asing. Meski memberikan sejumlah manfaat, infrastruktur yang dibiayai oleh asing sebenarnya hanyalah alat untuk memuluskan bekerjanya kapital internasional. Soekarno menyebut proyek semacam itu sebagai pembangunan drainase untuk menguras kekayaan alam nasional.

Sumber: Foto Facebook Tarli Nugroho

Kekhawatiran itu kian menjadi karena kemudian kita mendapati bahwa gagasan mengenai tol laut yang jadi jualan pemerintah juga kental sekali hanya merupakan subset dari proyek jalur sutera laut yang sedang dibangun oleh pemerintah Cina.

Pekan lalu, dalam Paket Kebijakan Ekonomi jilid ke-6, yang fokus di sektor fiskal dan non-fiskal terkait dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), selain mengatur sumber daya air serta layanan nasional satu pintu BPOM, kekhawatiran itu bukannya semakin mengabur, malah menurut saya semakin mengental.

Dalam paket kebijakan itu pemerintah memberi keleluasaan bagi pihak asing untuk mengelola KEK, termasuk mengundang investor sendiri untuk membangun KEK. Bukan hanya itu, meski tak tertera dalam rilis kebijakan, jika kita mengikuti pernyataan-pernyataan Apindo dan BKPM, calon investor KEK juga sedang diusahakan untuk diberi kewenangan agar bisa mengelola sendiri berbagai fasilitas yang ada di KEK, seperti membangun pembangkit listrik, pengelolaan sumber daya air, membangun pelabuhan, membangun bandara, dan lain-lain.

Sebagaimana halnya cost recovery dalam industri migas, investasi untuk pembangunan akses jalan yang dibangun oleh investor KEK juga sedang dimintakan agar nanti bisa diganti oleh pemerintah. Pendek kata, paket kebijakan ekonomi yang terakhir dirilis pemerintah itu benar-benar memanjakan para investor.

Dan semua itu belum termasuk berbagai fasilitas yang masuk dalam rilis kebijakan, seperti kemudahan bagi pihak asing untuk membeli properti di KEK, termasuk rumah tapak (landed house), pemberian insentif pajak berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) dengan besaran 20 hingga 100 persen, serta sejumlah fasilitas lainnya.

Sementara ini, ada 8 kawasan yang ditawarkan oleh paket kebijakan terbaru itu, yang tersebar mulai dari bagian barat hingga kawasan timur Indonesia, yaitu (1) Sumatera Utara: Sei Mangkei; (2) Sumatera Selatan: Tanjung Api-api; (3) Banten: Tanjung Lesung; (4) Kalimantan Timur: Maloy Batuta Trans-Kalimantan; (5) NTB: Mandalika; (6) Sulawesi Tengah: Palu; (7) Sulawesi Utara: Bitung; dan (8) Maluku Utara: Morotai. Calon investor terkuat yang siap untuk mengelola KEK itu tak lain adalah Cina dan Singapura.

Jadi, sederhananya bayangan buruknya adalah seperti ini: proyek tol laut yang selama ini jadi trade mark pemerintah, merupakan jembatan penghubung bagi sejumlah kawasan ekonomi khusus yang nantinya merupakan enclave bagi modal asing dalam memanfaatkan sumber daya kita yang ada di daerah.

Inikah yang selama kita bayangkan dari pembangunan kemaritiman yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah?! Jika tidak, kenapa sulit sekali untuk menepis anggapan bahwa pemerintah terkesan mengobral kebijakan dan fasilitas, yang sejauh ini kita lihat hanya akan menguntungkan para investor belaka?! Pembangunan untuk siapa yang sebenarnya sedang diusahakan oleh pemerintahan ini?!

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar