Senin, 09 November 2015

Pamflet

Judul kepala berita beberapa koran yang terbit di Jakarta pada Jumat silam [6 November], berbeda-beda padahal isu dan sumbernya relatif sama. Sebagian besar menyebut perekonomian negara ini sedang lesu, dan hanya sebagian kecil yang menulis sebaliknya.


Beberapa orang lantas mempersoalkan dan memperbandingkan judul-judul koran-koran itu, dan yang paling menarik perhatian adalah judul Kompas dan Sindo, sebab dua koran itu menulis judul yang seolah saling berhadapan: Kompas dengan “Perekonomian Mulai Tumbuh” dan Sindo dengan “Ekonomi Lesu, Pengangguran Melonjak.” Beberapa orang yang menyebarkan perbandingan kedua koran, menyertakan pengantar “mana yang lebih dipercaya?” atau semacam itu, dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu tendensius.

Bila membaca dengan cermat kedua berita itu, baik Kompas maupun Sindo sebetulnya menggunakan sumber utama yang sama: BPS. Kompas mengutip keterangan Deputi Kepala Badan Pusat Statistik Bidang Neraca dan Analisis Statistik, Kecuk Suharyanto, dan Sindo mengutip keterangan Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS, Razali Ritonga, selain Kecuk. Redaksi kedua koran lantas melengkapi berita masing-masing dengan sumber-sumber lain.

Kompas memilih pengamat ekonomi UGM, Tony Prasetiantono; Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani; Menteri Perdagangan, Thomas Lembong; dan siaran pers dari Deputi Direktur Departemen Komunikasi BI Andiwiana. Sementara redaksi Sindo memilih keterangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution; pendapat dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance [Indef], Enny Sri Hartati; dan keterangan dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Dengan sumber utama [BPS] yang sama, berita yang muncul di Kompas dan Sindo semestinya sama, tapi seperti yang sudah bisa dibaca pada kepala berita kedua koran pada Jumat lalu, yang terjadi adalah sebaliknya: bertentangan. Problemnya, sejak lead hingga empat paragraf berikutnya, Kompas tidak menuliskan siapa sumbernya untuk tidak menyebut sumbernya tidak ada.

Sumber Kompas baru muncul pada paragraf kelima dengan mengutip pernyataan Kecuk yang menyatakan, “Pertumbuhan konsumsi rumah tangga-yang menopang PDB dengan kontribusi 54,98 persen-melambat, dari 5,08 persen pada triwulan III-2014 menjadi 4,96 persen pada triwulan III-2015.” Ada pun Sindo, menulis menulis lead-nya dengan sumber dan pernyataan yang jelas: BPS dan Razali.

Pernyataan-pernyataan yang diletakkan di bagian-bagian awal berita Kompas yang menyatakan perekonomian mulai membaik, karena itu bisa disebut sebagai kesimpulan redaksi Kompas, meskipun bila ditelusuri, pernyataan-pernyataan itu kemungkinan besar salah satunya bersumber dari pernyataan Darmin yang dalam berita itu, justru tidak dikutip oleh Kompas. Keterangan Darmin itu bisa diketahui, sebab Sindo mengutip utuh dan jelas pernyataan Darmin.

Pernyataan “Secara kumulatif, hingga kuartalIII/ 2015, ekonomiIndonesia tumbuh 4,71%” yang ditulis Sindo, adalah relatif sama dengan lead yang ditulis Kompas “Perekonomian Indonesia mulai membaik. Produk domestik bruto triwulan III-2015 tumbuh 4,73 persen, sedikit lebih baik dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang sebesar 4,67 persen...” Perbedaannya, setelah pernyataan itu, Sindo melengkapinya dengan pernyataan langsung dan jelas dari Darmin: ”Pertumbuhan ekonominya membaik dari kuartal sebelumnya, tapi tidak cukup tinggi menyerap tenaga kerja. Akibatnya, penganggurannya naik.” Dan tidak dengan Kompas.

Koran itu sebaliknya menjadikan pernyataan yang tidak jelas sumbernya, untuk dijadikan judul kepala berita [halaman satu]: “Perekonomian Mulai Tumbuh.” Celakanya, judul itu kemudian bertabrakan dengan penjelasan dari sumber-sumber yang dipilih Kompas yang sebagian besar menyatakan kondisi perekonomian negara ini sesungguhnya memburuk. Pernyataan Lembong yang menyatakan “Pertumbuhan ekonomi masih lumayan positif...” yang dikutip tidak langsung oleh Kompas untuk membenarkan judul “Perekonomian Mulai Membaik,” malah rancu karena tidak ada penjelasan, apa yang sebetulnya disebut sebagai “lumayan positif.”

Misalnya, apakah “lumayan positif” bisa juga disebut dengan “tidak begitu negatif?” Simak kemudian pernyataan Lembong yang juga dikutip tidak langsung oleh Kompas, yang justru menyatakan, “Nilai ekspor turun 14 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Impor juga turun 17 persen dibandingkan dengan tahun lalu”

Secara singkat perbedaan judul dua koran itu niscaya memang menimbulkan pertayaan: mengapa dengan sumber yang sama, dua koran itu menulis judul berbeda dan saling bertentangan. Dan hal itu tentu saja memalukan dunia kewartawanan.

Media [dan wartawan] lalu seperti menunjukkan dengan terang-terangan, agenda politik dan kepentingan redaksi mereka dan untuk siapa mereka “bekerja”, yang sejauh ini tidak banyak atau jarang diketahui oleh publik pembaca dan pemirsa. Dan sebab agenda dan kepentingan politik redaksi semacam itu, fakta bisa [diubah] menjadi opini, opini bisa [diubah] menjadi fakta.

Tentu, redaksi-redaksi media itu bisa berdalil bahwa kepentingan politik media adalah sesuatu yang wajar, tidak bisa terhindarkan, dan bisa dibenarkan sepanjang dilakukan independen; tapi andai ada prinsip semacam itu, lantas alat ukur apa, dan siapa yang bisa mengukur independensi mereka? Dan tidakkah dengan prinsip semacam itu, berita media kemudian lebih mirip pamflet, atau semacam selebaran iklan jasa pasang antena TV yang ditempelkan di tembok-tembok gang?

Pertanyaan itu penting, karena harapan publik agar media [dan wartawan] menjadi “watch dog” atau anjing penjaga, dan berpihak kepada kepentingan publik mestinya adalah pertaruhan yang seharusnya diperjuangkan oleh media dan wartawan. Tidakkah dulu, ketika kasus lumpur Lapindo muncul pertengahan 2006, sebuah koran besar dan ternama di Indonesia bahkan menulisnya sebagai lumpur Sidoarjo, dan kemudian redaksi mereka juga berkoar-koar bahwa mereka independen?

Maka, membaca judul kepala berita Kompas dan Sindo pada Jumat lalu, saya hanya teringat pada pernyataan Petrus Kanisius Ojong [Auw Jong Peng Koen] alias P.K. Ojong, pendiri koran Kompas. Dalam sebuah kesempatan, Ojong jelas dan terang menyatakan, “Secara intituitif setiap orang merasakan bahwa tugas utama pers adalah mengontrol dan kalau perlu mengecam pemerintah. Wartawan jangan sekali-sekali meminta dan menerima fasilitas dari pejabat. Sekali hal itu terjadi, ia tidak bebas lagi menghadapi pejabat itu dalam profesinya. Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa tapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa.”

Seandainya masih hidup, entah apa kata Ojong melihat media dan terutama koran yang dia dirikan, kini mulai berubah.

#seninpolitik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar