Tampilkan postingan dengan label Rusdi Mathari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rusdi Mathari. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Oktober 2015

Muharam

Aku merindukan anak-anak itu menyalakan obor dik. Berarak menerangi jalan-jalan yang penuh batu. Membaca Alif Lam dan Mim. Memanggil-manggil Mustafa yang agung pembawa berkat. Membuat kita tahu, awal dan akhir bukanlah milik siapa-siapa. Tidak pula aku dan kamu yang tertidur di bawah bulan sabit. (Rusdi Mathari)

Madrid

Aku menari malam ini di Plaza Corral de la Morería diiringi suara akordion yang dimainkan seorang lelaki tua. Arak-arakan di jalanan Alcalá telah usai. Orang-orang sudah mabuk di bar.

Senin, 12 Oktober 2015

Kontrak Freeport

Anomali itu terjadi di lantai bursa New York, Kamis lalu. Beberapa saat setelah Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. mengumumkan telah mendapat kepastian jaminan dari pemerintah Indonesia yang akan memperpanjang kontrak pertambangan Grasberg setelah berakhir pada 2021; saham perusahaan itu justru turun setengah persen menjadi US$ 12,94. “The Street” salah satu media keuangan terkemuka di New York, pada hari itu bahkan merekomendasikan kepada para investor untuk melepas saham Freeport karena beberapa alasan. Antara lain karena laba bersih perusahaan yang dinilai memburuk, risiko utang, rasio laba bersih dan aset [ROE] yang mengecewakan, dan arus kas perusahaan yang lemah. Pada hari yang sama muncul keadaan yang lebih menggembirakan di pasar keuangan Jakarta: rupiah mulai menguat terhadap dolar, yang menyebabkan kelas menengah pendukung Presiden Jokowi bersorak ditambah bumbu-bumbu omong kosong.

Keracunan

Beberapa dari kami memanggilnya Nil-12. Julukan yang merujuk kepada kuda nil hewan favoritnya dan ukuran pelirnya yang [menurut pengakuannya] panjangnya 12 senti. Perawakannya pendek, cokelat tua kulitnya, dengan tangan, kaki dan pantat penuh otot. Rambutnya lurus tapi agak tipis dan nyaris botak di bagian depan. Usianya baru 30 tahun, dan baru beberapa bulan yang lewat, Nil-12 bercerai dengan istrinya.

Jumat, 09 Oktober 2015

Ekspedisi

Membaca “Pulau Run” karya Giles Milton, teranglah kini bahwa ekspedisi mestinya adalah jalan pedang. Sebuah ikhtiar untuk menemukan sesuatu yang berharga, yang dicari dan diharapkan berguna bagi manusia; di mana pun tempatnya. Jalan yang hanya bisa ditempuh oleh manusia-manusia yang memiliki ketabatan dan keberanian seribu pendekar. Mereka, manusia-manusia yang rela menembus bahaya dan kesepian tentu punya motif ekonomi [ekspedisinya diongkosi dan lain sebagainya], tapi tak semua orang akan memilih untuk menukarkan hidup mereka hanya demi mendapatkan rumah yang hangat, perempuan seksi, minuman yang paling durjana, dan hidup yang lebih baik, bila risikonya adalah kematian.

Kamis, 08 Oktober 2015

Buku

Dia adalah pembaca buku. Beberapa kali aku menemukannya sedang membaca buku justru ketika kami kawan-kawannya, asik bercengkrama ke barat dan timur. Kadang aku menjumpainya sedang membaca buku di lobi hotel, kadang di warung saat kami makan siang atau sekadar minum kopi. Dia akan tetapi mengaku lebih sering membaca buku di kamar mandi, di WC, saat sedang buang hajat beberapa waktu sebelum mandi pagi. Dia memang pembaca buku yang tabah dan setia di tengah zaman yang menuntut orang hanya sibuk dengan gawai, gadget itu.

Rabu, 07 Oktober 2015

Cimol

Aku menjumpai laki-laki muda itu pada sebuah sore di seberang jalan Kantor Polresta Pasuruan. Rambutnya setengah gondrong. Kulitnya hitam. Perawakannya tidak tinggi dan tidak pendek. Dia duduk di sebelahku sembari mengepulkan asap kreteknya saat aku menikmati segelas es kelapa muda. Dari wajahnya aku tahu dia lelah, tapi dia tetap menyedekahkan senyum padaku. Giginya yang setengah kuning terlihat berbaris seperti sepasukan tentara yang mendengarkan komandannya berpidato.

Selasa, 06 Oktober 2015

Bencana

Seorang pesohor telah menyerukan di media sosial agar orang-orang berhenti meminta pemerintah menetapkan status “bencana nasional” untuk asap yang terus mengepul selama sekian bulan akibat hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan yang dibakar. Alasan dia, bencana berasal dari alam atau Tuhan, sementara hutan-hutan yang dibakar adalah akibat ulah manusia. Dengan demikian apabila ditetapkan sebagai “bencana nasional” maka perusahaan [pembakar hutan] tidak wajib menyelesaikan atau membayar ganti rugi, dan sebagainya. Dia karena itu mengusulkan kepada orang-orang agar menggunakan istilah “darurat sipil” untuk menyebut asap yang diakibatkan oleh hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan yang dibakar.

Hu

Ini lautanku dik. Aku tak bisa memanggil namamu di sini karena angin timur akan menerbangkannya ke mana-mana. Aku hanya memanggilmu “Hu” dan berharap engkau juga memanggilku “Hu.” Suara kita lalu bersahutan. Menunggangi ombak. Berayun-ayun di sisi sampan yang aku dayung. (Rusdi Mathari)

Sabtu, 03 Oktober 2015

#harikretek

Percakapan tiga laki-laki usai makan malam.

Laki-laki 1: “Aku naksir cewek Cak.”
Laki-laki 2: “Terus?”
Laki-laki 1: “Cewekku malah naksir laki-laki 3.”
Laki-laki 2: “Ya biarin saja.”

Jumat, 02 Oktober 2015

Latah

Pria tua itu bernama Pak Sukis. Aku menjumpainya di kantin sebuah instansi pemerintah di sebuah kabupaten di Jawa Timur pada suatu siang yang terik, lima hari silam. Pak Sukis dianggap lucu oleh para pegawai yang nongkrong di kantin itu sebab dia latah atau pura-pura latah. Setiap kali seseorang berseru dengan keras atau menepukkan telapak tangan dengan keras, maka Pak Sukis akan menyerukan sebuah kata: turuk. Itu adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut pukas, kelamin perempuan.

Produk Gagal

Laki-laki muda itu dihardik bapaknya tadi malam di depanku ketika aku makan di warung mereka. Dia tertunduk. Mukanya memerah.

Sabtu, 26 September 2015

Penulis

Beberapa orang berkata, penulis itu dilahirkan dan bukan melulu perkara bakat, dan saya kira yang dikatakan oleh beberapa orang itu benar. Tiga penulis yang saya kenal di bawah ini, saya kira adalah penulis-penulis yang dilahirkan itu. Mereka menulis di usia dini dan di awal-awal menulis, tulisan mereka saya kira sudah mendahului matahari terbit.

Jumat, 25 September 2015

Mekkah

Namanya Juhaiman. Nama itu diberikan oleh Muhammad bin Saif al Utaibi, sang ayah, lantaran ketika lahir Juhaiman kerap menyeringai. Saif lantas memberi nama untuk anak lelakinya yang lahir pada 1936 itu dengan nama “sang pemberenggut.” Dalam bahasa Arab pemberengut adalah Juhaiman.

Serigala

Kadang kita perlu umpan untuk menjebak serigala. Aku ingat perkataanmu itu ketika pada suatu malam kita mengasuh di bawah pohon poplar setelah tujuh malam kita berjalan di hutan, memburu serigala yang katamu adalah serigala jadi-jadian dan telah mengganggu tidurmu selama delapan purnama. Aku kelelahan. Kamu mengutuki diri sendiri.

Rabu, 23 September 2015

Cakar Ayam

Dua tahun silam, sewaktu pemerintahan SBY memutuskan membeli pesawat kepresidenan, Fadjroel Rachman adalah orang paling keras yang mengritik. Dia menyampaikan sejumlah alasan. Mulai dari yang disebutnya sebagai alokasi uang negara yang tidak efektif dan tidak efisien, pemborosan uang negara di tengah langkanya perhatian terhadap kebutuhan dasar rakyat, jutaan rakyat tanpa pendidikan, tanpa pekerjaan, tanpa perumahan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa infrastruktur publik yang layak, dan lain-lain.

Selasa, 22 September 2015

Krisis

Bahasa merumuskan kekuasaan, kekuasaan merumuskan bahasa, tapi eufimisme bukanlah gejala linguistik melainkan gejala kekuasaan. Lalu hari ini, Presiden Jokowi meminta agar berhati-hati menyebut krisis ekonomi karena menurutnya, yang terjadi adalah perlambatan ekonomi. Dia benar, terutama bila kau ingat, pada suatu masa kita pernah pula diminta untuk menyebut gelandangan sebagai tuna wisma, pelacur sebagai tuna susila, miskin dan melarat sebagai pra-sejahtera. ‪#‎selasabahasa‬ (Rusdi Mathari)

Kaliurang

Aku berdiri di halaman sebuah rumah yang berbatu di Kaliurang, menyaksikan kembang-kembang boegenville yang kering diseret angin ke mulut perigi yang tak berair. Aku seperti mendengar rima. Serupa suaramu saat kita bersanggama di bawah palma merah. Angin dan daun-daun kering di Kaliurang memang bukan bencana, tapi di halaman rumah yang berbatu sore ini, aku melihatmu berlari dari hutan basah yang terbakar.

Minggu, 20 September 2015

Soto Kolombo

Hidup punya soto masing-masing, dan di Pasar Kolombo Jogja, hidup bisa dimulai dari soto Pak Syamsul. Warungnya berada di sisi selatan pasar, di sebelah kiri jalan kecil dan mampat yang menghubungkan Jalan Kaliurang dengan Condong Catur. Menempati kios berukuran 2,5x2,5 meter atau mungkin kurang, warung itu akan terlihat lebih mini karena setiap pagi selalu dirubung orang.

Jumat, 18 September 2015

Tiga Perempuan

Di sebuah bandara, siang tadi saya bertemu dengan tiga perempuan. Tiga-tiganya menyapa saya dan kami berdialog singkat.